WartaNews, Jakarta - Anggota komisi VII DPR RI, Dewi Aryani
merasa jika perdebatan soal energi tak ada habisnya, bahkan makin
mendalam. Hal itu menunjukan bila sektor energi memang seharusnya
menjadi sektor utama (leading sector) dalam pembuatan berbagai kebijakan
di negara ini.
Dewi memaparkan, soal sektor hulu dan hilir energi di Indonesia harus dibedakan antara industri hulu dengan hilir. Tapi, tetap ada sinkronisasinya.
"Untuk Hulu, KPS hanya kontraktor sebagaimana layaknya, maka tanda tangan kontrak seharusnya memang tidak dengan Pemerintah secara langsung," kata Dewi Aryani, Kamis (29/11),
Dengan demikian, kata Dewi, di Hulu perlu agen atau badan atau BMUN yang mendapatkan kewenangan Pemerintah. Dalam hal BUMN harus yang tidak ada conflict of interest, harusnya yang non profit tapi independent dalam arti tidak direcoki kebijakan siapapun dan kepentingan politik apapun.
"Inilah sebenarnya refleksi dari pasal 33 UUD kita, dikuasai oleh negara. Dalam arti KPS hanya sebagai kontraktor, tidak memiliki, dan semua aset nanti kembali kepada Pemerintah (cost recovery)," ucapnya.
Politikus PDI Perjuangan itu melihat, ada hal yang rancu saat ini dalam kasus pembubaran BP Migas, ia menilai ada yang nggak beres dioperasional. Dirinya mendukung penuh reformasi birokrasi dan kebijakan di sektor energi dengan cara yang tepat sesuai konstitusi dan mempertimbangkan keberlangsungan dan kedaulatan negara. Bukan dengan cara politisasi tanpa dasar bagi kepentingan rakyat.
"Untuk sektor Hilir lain lagi, struktur pasar BBM kita saat ini adalah oligopoli bukan liberal, karena kendali ada di pemerintah yaitu kementrian ESDM/BPH. Pertamina masih dominan. Oligopoli disini artinya satu dominan yaitu Pertamina dan yang lain fringe yaitu yang ada terbatas misalkan Total, Petronas, Shell dan lain lain, jadi tidak tiba-tiba dinamakan liberal dalam arti tidak kompetitif penuh," paparnya. (ipk)
Dewi memaparkan, soal sektor hulu dan hilir energi di Indonesia harus dibedakan antara industri hulu dengan hilir. Tapi, tetap ada sinkronisasinya.
"Untuk Hulu, KPS hanya kontraktor sebagaimana layaknya, maka tanda tangan kontrak seharusnya memang tidak dengan Pemerintah secara langsung," kata Dewi Aryani, Kamis (29/11),
Dengan demikian, kata Dewi, di Hulu perlu agen atau badan atau BMUN yang mendapatkan kewenangan Pemerintah. Dalam hal BUMN harus yang tidak ada conflict of interest, harusnya yang non profit tapi independent dalam arti tidak direcoki kebijakan siapapun dan kepentingan politik apapun.
"Inilah sebenarnya refleksi dari pasal 33 UUD kita, dikuasai oleh negara. Dalam arti KPS hanya sebagai kontraktor, tidak memiliki, dan semua aset nanti kembali kepada Pemerintah (cost recovery)," ucapnya.
Politikus PDI Perjuangan itu melihat, ada hal yang rancu saat ini dalam kasus pembubaran BP Migas, ia menilai ada yang nggak beres dioperasional. Dirinya mendukung penuh reformasi birokrasi dan kebijakan di sektor energi dengan cara yang tepat sesuai konstitusi dan mempertimbangkan keberlangsungan dan kedaulatan negara. Bukan dengan cara politisasi tanpa dasar bagi kepentingan rakyat.
"Untuk sektor Hilir lain lagi, struktur pasar BBM kita saat ini adalah oligopoli bukan liberal, karena kendali ada di pemerintah yaitu kementrian ESDM/BPH. Pertamina masih dominan. Oligopoli disini artinya satu dominan yaitu Pertamina dan yang lain fringe yaitu yang ada terbatas misalkan Total, Petronas, Shell dan lain lain, jadi tidak tiba-tiba dinamakan liberal dalam arti tidak kompetitif penuh," paparnya. (ipk)
2 komentar
nice post ,,,,,,,,,,,,,,
reformasi birokrasi harus mantap
Vakum pembesar alat vital Vakum penis
Alat pembesar penis Procomil spray
Obat kuat oles Peninggi Badan Alami
Pelangsing Badan Pelangsing Fatloss
Vakum Payudara Pelangsing Body slim herbal
Obat hernia herbal Obat kuat jakarta
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda ke blog kami dan jangan lupa komentar nya oke